Minggu, 20 Maret 2011

KISAH AGEN MOSSAD

Hampir-hampir saja, Eli Cohen menjadi Presiden Suriah, jika skandalnya yang rapi tak terbongkar. Tahun 1965, adalah tahun yang penuh goncangan bagi politik Suriah. Namanya Eli Cohen dan ditulis dalam bahasa Ibrani seperti ini אלי כהן.  Ia adalah Yahudi kelahiran Mesir yang direncanakan oleh Mossad akan disusupkan ke dalam pemerintahan Suriah. Ia dilatih dengan sangat serius di Israel, terutama kemampuan bahasa, sampai ia menguasai bahasa pergaulan sehari-hari warga Arab Suriah.
Setelah menyelesaikan latihannya di Israel, oleh Mossad ia dikirim ke Argentina dengan identitas palsu sebagai seorang Arab Suriah yang bernama Kamel Amin Tsa’bet. Di Argentina ia bergaul dan menjadi akrab dengan komunitas Suriah di negara Amerika Latin tersebut. Bahkan tak satu pun orang bisa mengenalinya, bahwa Kamel Amin Tsa’bet sesungguhnya adalah Eli Cohen, seorang Yahudi yang sedang bekerja untuk dinas intelijen Israel, Mossad.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat, ia sudah sangat akrab dengan komunitas Suriah di Argentina. Tak hanya itu, Eli Cohen bahkan sudah mulai berpengaruh dalam komunitas tersebut. Maklum, semua ini memang telah dirancang, dan Mossad tentu saja tidak ingin semua investasi yang telah ditanam dalam diri Cohen sia-sia.
Eli Cohen alias Eliahu Cohen alias Kamel Amin Tsa’bet lahir di Alexandria, Mesir pada 16 Desember 1924. Ayahnya, Shaul Cohen, berimigrasi dari Aleppo, Suriah ke Mesir pada tahun 1914. Eli Cohen sendiri besar dan dewasa di Mesir, bahkan sebelum menjadi mata-mata, namanya sudah tercatat di dinas intelijen Hagganah, sebagai salah seorang yang berperan dalam membantu warga Yahudi keluar dari Mesir.
Ketika di Mesir ia sudah dicurigai, karena melakukan kegiatan mata-mata. Bahkan pada tahun 1952, ia pernah terlibat aktivitas mendukung Zionisme dan ditangkap oleh aparat keamanan Mesir. Ketika di Mesir inilah ia mengerjakan tugas-tugas yang membuat hubungan Mesir dengan dunia Barat memburuk. Beberapa contoh aksi yang ia lakukan adalah membantu operasi intelijen Mossad melakukan sabotase di kedutaan besar Inggris dan Amerika. Pada tahun 1956, Mesir melakukan kampanye anti Yahudi dan memaksa Cohen meninggalkan negeri piramida tersebut. Cohen berhasil keluar menuju Naples lalu masuk ke Israel.
Tugas Cohen setelah Mesir, adalah Argentina. Di negeri ini ia menyamar sebagai seorang pengusaha sukses Suriah. Menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Jenderal Amin al Hafez, yang kelak menjadi Presiden Suriah. Pada tahun 1961, Suriah dilanda kemelut politik yang melahirkan kudeta militer. Cohen pergi dari Argentina dan kembali Israel, kemudian masuk ke Damaskus dan menjadi salah satu anggota partai Baath dan menjadi seorang pejuang Arab yang militan tanpa seorang pun mengetahui bahwa ia sebenarnya adalah seorang Yahudi, agen Mossad. Ia mendapatkan rekomendasi dari pejabat di kedutaan Suriah di Argentina untuk pulang dan memberi manfaat kepada Suriah.
Di dalam partai Baath ia menjadi orang yang sangat berpengaruh. Ia bahkan terlibat dalam muktamar nasional keenam yang dilakukan oleh partai Baath pada 5 Oktober 1963 yang dihadiri tokoh pendiri partai Baath sendiri. Michael Afflaq, sang pendiri partai bahkan berjanji menemui Eliahu Cohen.
Keterlibatannya dalam elit politik di Suriah, membuat Cohen mengumpulkan informasi yang sangat kaya. Sepanjang tahun 1962 sampai 1965, ia menyuplai Israel dengan berbagai informasi, mulai dari foto, sketsa pertahanan, nama-nama dan strategi militer Suriah. Dan data-data yang dikumpulkan oleh Cohen ini sangat berguna bagi Israel pada peristiwa Perang Enam Hari antara negara-negara Arab dan Israel.  
Tapi bukanlah itu yang paling merusak dalam kegiatan Cohen. Kamel Amin Tsa’bet alias Eliahu Cohen telah membuat akhlak dan mental para petinggi di jajaran sipil dan militer Suriah rusak dengan suap dan korupsi, zina dan penyelewengan yang ia fasilitasi. Cohen membawa masuk peralatan komunikasi teknologi tinggi dari Israel, melalui bandara-bandara Suriah dengan cara menyuap pejabat-pejabatan imigrasi di sana. Dan dengan leluasa, peralatan tersebut ia gunakan untuk mentransfer berbagai informasi langsung ke Israel dari rumahnya.
Sampai suatu hari, tetangga depan rumahnya, milik kedutaan India, mengadu pada polisi karena ada gangguan komunikasi dengan sinyal tinggi di wilayah ini. Tapi laporan-laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti, karena selain segan pada posisi
Eli Cohen, polisi setempat juga telah memakan suap yang disiapkan Cohen untuk melancarkan penyamarannya.
Di saat yang bersamaan, aparat intelijen Suriah juga sudah merasa curiga, tapi belum mengetahui harus curiga pada siapa. Kecurigaan ini muncul karena beberapa kejadian yang seharusnya informasinya sangat confidential, ternyata sudah diketahui oleh pihak luar. Sampai suatu hari, Suriah bekerjasama dengan Rusia dalam peralatan militer dan pertahanan. Salah satunya adalah alat pelacak sinyal komunikasi tingkat tinggi dan radar, yang diketahui secara akurat dan tepat.
Pada hari yang telah ditentukan, tanpa sepengtahuan Eli Cohen, aparat keamanan Suriah mematikan seluruh fasilitas penyiaran, baik radio ataupun televisi selama 24 jam. Tanpa sinyal penyiaran yang memang cukup besar, maka sinyal-sinyal komunikasi lain akan teridentifikasi. Salah satunya, sinyal yang paling kuat berasal dari rumah Eliahu Cohen. Radar bikinan Rusia ini berhasil menangkap sinyal yang kuat dari rumah Cohen, dan tentu saja ini mengundang kecurigaan. Regu khusus telah disiapkan untuk mendobrak masuk dan menangkap Cohen yang sedang mengirimkan data-data yang berhasil ia kumpulkan untuk Israel.
Berita penangkapan Cohen baru muncul dan ramai menjadi perhatian media, beberapa bulan kemudian, saat sebuah radio, Sout al Arab menyiarkan berita yang menghebohkan ini kepada dunia Arab. Cohen sendiri harus menjalani penahanan dan penyiksaan saat interograsi. Sebelum berita ini muncul, sebenarnya aparat intelijen Mesir sudah mencurigai saat Cohen terlihat di perbatasan Suriah dan Israel bersama pejabat-pejabat Suriah. Sebagai ganjaran, Cohen pada 18 Mei 1965, disaksikan lebih dari 10.000 rakyat Suriah Eliahu Cohen digantung di tengah lapangan. Andai saja penyamaran Cohen tak terungkap, ia hampir dapat dipastikan akan menjadi Presiden Suriah.
Cohen yang digantung, dianggap sebagai pahlawan oleh rakyat Israel. Hingga saat ini mereka masih memperjuangkan agar tulang belulang Cohen bisa dipindahkan dari Suriah ke Israel. Tapi sampai hari ini juga pemerintahan Suriah tidak mengizinkannya.
Kerusakan yang dihasilkan oleh operasi Cohen ini sungguh luar biasa. Bukan saja pada ranah politik dan pertahanan, keamanan dan rahasia negara, tapi lebih jauh dari itu, Cohen telah berhasil menanamkan jiwa-jiwa korup dalam tubuh birokrasi dan militer di Suriah. Dan ini adalah kerusakaan yang bersifat laten, lebih bahaya dari sekadar serangan militer.
Kondisi yang sama, sedang melanda Indonesia. Korupsi dan penyelewengan kekuasaan, menjadi air bah yang besar dalam pusat politik Indonesia. Apakah ada tangan-tangan misterius yang bermain di belakang peristiwa-peristiwa korupsi?
Dr Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan pada kabinet periode lalu, tahu benar apa jawaban dari pertanyaan ini. “Indonesia dihancurkan melalui sistem. Seharusnya sistem berpihak pada rakyat, tapi malah menyengsarakan dan menghancurkan pondasi negara. Semuanya sudah masuk dalam sektor kehidupan, entah itu masuk ke wilayah ekonomi, perdagangan, pendidikan, atau kesehatan. Dalam segi kesehatan saya sudah bersusah payah ternyata diubah semuanya melalui sistem neoliberalisme. Konspirasi dari sistem kenegaraan sudah terjadi lama sekali,” tandas Siti Fadilah Supari yang ditemui di sela-sela Kongres Kajian Zionisme Internasional, akhir Desember silam.
Bagi Siti Fadilah, hasil dari neoliberalisasi adalah kehancuran bagi yang lemah dan kemenangan bagi yang kuat. Awal 2010 Indonesia masuk wilayah FTA (free trade area). “Banyak pejabat atau pembesar negara menandatangani kebijakan yang menguntungkan pihak asing, hampir 90% dari kekayaan alam sudah bukan milik kita, 90% bank yang ada bukan milik kita. Semuanya sudah dimiliki pihak asing tanpa meninggalkan kepada anak bangsa. Sistem yang berjalan merupakan gurita yang menghancurkan Indonesia,” terangnya lagi.

The invisible hand, itu pula yang diyakini oleh Joserizal Jurnalis, Presidium Mer-C yang belakangan justru menguat perannya sebagai pemerhati masalah konspirasi. “Invisible hand merupakan kekuatan yang tidak terlihat mencoba untuk mengatur negara di bidang ekonomi, politik intelijen atau yang lainnya. Jika suatu negara kuat dalam sisi militer, tangan misterius ini masuk ke dalam isu HAM. Jika suatu negara kuat dalam dalam sisi ekonomi, dia masuk dalam isu kapitalis (pasar bebas). Dan jika dalam suatu negara maju dalam sisi teknologi, maka mereka masuk dalam isu dampak senjata nuklir,” jelas Joserizal.
Secara terang Joserizal meyakini bahwa kekuatan misterius yang sedang bekerja merusak Indonesia ini adalah Zionis dan kakitangannya. “Invisible hand biasanya banyak berasal dari tangan Zionis, walau banyak pula dari tangan lokal. Tapi pada hakikatnya, kepentingan lokal juga digerakkan oleh Zionisme global, sampai pada kebijakan keuangan terintegrasi oleh kebijakan Zionisme,” tandasnya yakin.
Joserizal percaya, salah satu program kerja the invisible hand di Indonesia adalah melakukan rekayasa degradasi moral. “Beberapa contohnya adalah memasukan narkoba ke sendi-sendi umat Islam, mental korupsi, perzinahan, penyebaran penyakit. Sehingga mengakibatkan pejabat Muslim tidak memiliki intergritas terhadap apapun, kecuali jebakan yang sengaja dibuat serta politik adu domba antar umat Islam sendiri sebagaimana yang terjadi di negara Pakistan,” tuturnya.
Tapi faktor rekayasa dan konspirasi terhadap runtuhnya moral bangsa lewat kasus korupsi dan degradasi akhlak, bagi Fathudin Ja’far, Direktur Spiritual Learning Center, kecil kemungkinannya. “Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ini lebih karena mental yang lemah dan tidak teguh berpegang pada agama,” ujarnya pada Sabili.
Meski memiliki perspektif yang berbeda tentang asal muasal degradasi moral, Fathudin juga meyakini, jalan keluarnya hanya satu, ajaran Islam. Membangun prinsip agama yang kuat. Semakin jauh seorang Muslim dari nilai-nilai fundamental Islam, maka semakin lemah dia secara mental, kekuasaan dan juga moral.

Habib Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam, memiliki konsep menarik mengatasi masalah sekaligus memberikan injeksi imunisasi bagi umat Islam Indonesia. Harus ada usaha untuk menggabungkan semua lini perjuangan umat Islam, baik dakwah, hizbah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad. “Dakwah harus lembut, hizbah harus tegas, jihad harus keras,” tukas sang habib pada Sabili.
Tapi kekhawatirannya adalah, usaha adu domba antar umat Islam yang melakukan unsur-unsur dakwah di atas, semakin kuat di Indonesia. “The invisible hand memang sangat ingin melihat kita terpecah belah. Sebab keterpisahan akan melahirkan kehancuran. Mereka akan berusaha memisahkan dakwah dengan hizbah dan juga jihad,” terang Habib Rizieq yang telah mengalami sendiri pahitnya fitnah yang merusak ukhuwah umat Islam.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Tidak ada cara yang sederhana. “Kita harus bekerja bahkan sejak dini, menjaga akidah anak-anak kita yang kelak akan meneruskan perjuangan kita. Sementara dakwah jalan terus dan jangan kendor. Cikal bakal pemimpin esok hari, kini masih berusia anak-anak. Jika umat Islam ingin masa depannya selamat, maka hari ini kita harus menyelamatkan anak-anak kita,” kata Habib Rizieq.
Memang, tak ada cara sederhana untuk memperbaiki keadaan yang demikian parah. Salah satu harapan yang masih tersisa adalah menyelamatkan anak-anak kaum Muslimin dari ancaman akidah. Anak hari ini, adalah pemimpin esok hari. Bangsa akan hilang jika anak-anak yang menjadi masa depannya lemah dan rendah. Para mujahid dan mujahidah, harus lahir dan besar dari rahim-rahim kaum Muslimin. Sebab, perjuangan tidak semakin mudah. Sebaliknya, perjuangan akan kita berat dan payah. Semoga Allah menolong kita dari tangan-tangan orang yang zalim. ditulis oleh Herry Nurdi - CIBIRSABILI.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar