Rabu, 23 Maret 2011

UU NO. 2 TAHUN 2002

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia;
e. sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Mengingat:     1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);

Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum Kepolisian.
4. Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
6. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.
8. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
10. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
11. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
12. Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang.
13. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kapolri adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian.

Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 3
(1) Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh:
a. kepolisian khusus;
b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
(2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Pasal 4
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pasal 5
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

BAB II
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KEPOLISIAN NEGARAREPUBLIK INDONESIA

Pasal 6
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peran dan fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 7
Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9
(1) Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian.
(2) Kapolri memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas:
a. penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 10
(1) Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hierarki.
(2) Ketentuan mengenai tanggung jawab secara hierarki sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 11
(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.
(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 12
(1) Jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang pejabatnya diangkat dengan Keputusan Kapolri.
(2) Jabatan fungsional lainnya di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia ditentukan dengan Keputusan Kapolri.

BAB III
TUGAS DAN WEWENANG

Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; sertal.melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.

Pasal 17
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 19
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.

BAB IV
ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pasal 20
(1) Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas:
a. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Pegawai Negeri Sipil.
(2) Terhadap Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Pasal 21
(1) Untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia seorang calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
e. berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
i. lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 22
(1) Sebelum diangkat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, seorang calon anggota yang telah lulus pendidikan pembentukan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 23
Lafal sumpah atau janji sebagaimana diatur dalam Pasal 22 adalah sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;

bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan kedinasan di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;

bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;

bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya".

Pasal 24
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalani dinas keanggotaan dengan ikatan dinas.
(2) Ketentuan mengenai ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 25
(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam penugasannya.
(2) Ketentuan mengenai susunan, sebutan, dan keselarasan pangkat-pangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 26
(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak.
(2) Ketentuan mengenai gaji dan hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
(1) Untuk membina persatuan dan kesatuan serta meningkatkan semangat kerja dan moril, diadakan peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai peraturan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Pasal 29
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat.
(2) Usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 (lima puluh delapan) tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 (enam puluh) tahun.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PEMBINAAN PROFESI

Pasal 31
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi.

Pasal 32
(1) Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut.
(2) Pembinaan kemampuan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 33
Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan pengkajian, penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian.

Pasal 34
(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 35
(1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.

Pasal 36
(1) Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengemban fungsi kepolisian lainnya wajib menunjukkan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam mengemban fungsinya.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, ukuran, pengeluaran, pemakaian, dan penggunaan tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Kapolri.

BAB VI
LEMBAGA KEPOLISIAN NASIONAL

Pasal 37
(1) Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(2) Komisi Kepolisian Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pasal 38
(1) Komisi Kepolisian Nasional bertugas:
a. membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk:
a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan
c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.

Pasal 39
(1) Keanggotaan Komisi Kepolisian Nasional terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, seorang Sekretaris merangkap anggota dan 6 (enam) orang anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari unsur-unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tata kerja, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Kepolisian Nasional diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 40
Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Komisi Kepolisian Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB VII
BANTUAN, HUBUNGAN, DAN KERJA SAMA

Pasal 41
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 42
(1) Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki.
(2) Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas.
(3) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
b. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sedang diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer dan belum mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan militer.
c. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3710) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAMBANG KESOWO

UU NOMOR 9 TAHUN 1998

KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM Bentuk:
UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 9 TAHUN 1998 (9/1998)
Tanggal: 26 OKTOBER 1998 (JAKARTA)
Sumber: LN NO. 1998/181; TLN NO.
3789
Tentang: KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia;
b. bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan    perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
c. bahwa untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai;
d. bahwa hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT  REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat
didatangi dan atau dilihat setiap orang.
3. Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk  mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
4. Pawai adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.
5. Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu.
6. Mimbar bebas adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas
dan terbuka tanpa tema tertentu.
7. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia.
8. Polri adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 2
(1) Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada:
a. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
b. asas musyawarah dan mufakat;
c. asas kepastian hukum dan keadilan; d. asas proporsionalitas; dan
e. asas manfaat.
Pasal 4
Tujuan pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah: a. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945;
b. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
c. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara
sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi;
d. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:
a. mengeluarkan pikiran secara bebas;
b. memperoleh perlindungan hukum.
Pasal 6
Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati
keamanan dan ketertiban umum; dan
e. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 7
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. melindungi hak asasi manusia;
b. menghargai asas legalitas;
c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d. menyelenggarakan pengamanan.
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta secara bertanggung jawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung secara aman, tertib, dan damai.
BAB IV
BENTUK-BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
Pasal 9
(1) Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan: a. unjuk rasa atau demonstrasi;
b. pawai;
c. rapat umum; dan atau
d. mimbar bebas.
(2) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan di tempat-
tempat terbuka untuk umum, kecuali:
a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut,
stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional;
b. pada hari besar nasional.
(3) Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
Pasal 10
(1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri.
(2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.(4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Pasal 11
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat:
a. maksud dan tujuan;
b. tempat, lokasi, dan rute;
c. waktu dan lama;
d. bentuk; e. penanggung jawab;
f. nama dan alamat organisasi,kelompok atau perorangan;
g. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
h. jumlah peserta.
Pasal 12
(1) Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib, dan damai.
(2) Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada
seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab.
Pasal 13
(1) Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri wajib:
a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan; b. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;
c. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat; d. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
(2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan
perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
(3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Pasal 14
Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelumwaktu pelaksanaan.
BAB V SANKSI
Pasal 15
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, dan Pasal 11.
Pasal 16
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok.

Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur khusus atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di: Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Oktober 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA ttd
AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 181
PENJELASAN
ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1998
TENTANG
KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM UMUM
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam
Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi: "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang".
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas- batas". Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan
pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan
kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran
hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan
dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin
rasa aman dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang antara lain menetapkan sebagai berikut:
1. setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh;
2. dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis;
3. hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa Bangsa. Dikaitkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum dan hak asasi manusia, pemerintah Republik Indonesia berkewajiban mewujudkannya dalam bentuk sikap politik yang aspiratif terhadap keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum. Bertitik tolak dari pendekatan perkembangan hukum, baik yang
dilihat dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan hubungan antar bangsa, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus berlandaskan:
1. asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
2. asas musyawarah dan mufakat;
3. asas kepastian hukum dan keadilan;
4. asas proporsionalitas;
5. asas manfaat.
Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggung jawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Berlandaskan atas kelima asas kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum tersebut maka pelaksanaannya diharapkan
dapat mencapai tujuan untuk:
1. mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945;
2. mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat;
3. mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara
sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi;
4. menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Sejalan dengan tujuan tersebut di atas rambu-rambu hukum harus memiliki karakteristik otonom, responsif dan mengurangi atau meninggalkan karakteristik yang represif.
Dengan berpegang teguh pada karakteristik tersebut, maka Undang-undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di MukaUmum, merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif, sehingga di satu sisi dapat melindungi hak warga negara sesuai dengan Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945, dan di sisi lain dapat mencegah tekanan-tekanan, baik fisik maupun psikis,yang dapat mengurangi jiwa dan makna dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Undang-undang ini mengatur bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum, dan tidak mengatur
penyampaian pendapat melalui media massa, baik cetak maupun elektronika dan hak mogok pekerja di
lingkungan kerjanya.

PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyampaian pendapat di muka umum" adalah penyampaian pendapat secara lisan, tulisan, dan sebagainya. "Penyampaian pendapat secara lisan" antara lain: pidato, dialog, dan diskusi.
"Penyampaian pendapat secara tulisan" antara lain: petisi, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, dan
spanduk. Adapun yang dimaksud dengan "dan sebagainya" antara lain: sikap membisu dan mogok makan. Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas proporsionalitas" adalah asas yang meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah, yang dilandasi oleh etika individual, etika sosial, dan etika institusional.
Huruf e Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mengeluarkan pikiran secara bebas" adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentangan dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang- undang ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memperoleh perlindungan hukum" termasuk di dalamnya jaminan keamanan. Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan "menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain" adalah ikut memelihara dan menjaga hak dan kebebasan orang lain untuk hidup aman, tertib, dan damai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum" adalah mengindahkan norma agama, kesusilaan, dan kesopanan dalam kehidupan masyarakat.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
dimaksud dengan "menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum" adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya bahaya bagi ketenteraman dan keselamatan umum, baik yang menyangkut orang, barang maupun kesehatan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa" adalah perbuatan yang dapat mencegah timbulnya permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan
dalam masyarakat.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "aparatur pemerintah" adalah aparatur pemerintah yang menyelenggarakan pengamanan.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "menyelenggarakan pengamanan" adalah segala daya upaya untuk menciptakan kondisi aman, tertib, dan damai, termasuk mencegah timbulnya gangguan atau tekanan, baik fisik maupun psikis yang berasal dari mana
pun juga. Pasal 8
Yang dimaksud dengan "berperan serta secara bertanggung jawab" adalah hak masyarakat untuk memberi dan memperoleh informasi atau konfirmasi kepada atau dari aparatur pemerintah agar terjamin keamanan dan ketertiban lingkungannya, tanpa menghalangi terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum.
Pasal 9 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengecualian "di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana presiden dan istana
wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar. Pengecualian untuk "instalasi militer" meliputi radius 150 meter dari pagar luar. Pengecualian untuk "obyek-obyek vital nasional" meliputi radius 500 meter dari pagar luar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hari-hari besar nasional adalah:
1. Tahun Baru;
2. Hari Raya Nyepi;
3. Hari Wafat Isa Almasih;
4. Isra Mi'raj;
5. Kenaikan Isa Almasih;
6. Hari Raya Waisak; 7. Hari Raya Idul Fitri;
8. Hari Raya Idul Adha;
9. Hari Maulid Nabi;
10. 1 Muharam;
11. Hari Natal;
12. 17 Agustus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Polri setempat" adalah satuan Polri terdepan dimana kegiatan penyampaian pendapat akan dilakukan apabila kegiatan dilaksanakan pada:
a. 1 (satu) kecamatan, pemberitahuan ditujukan kepada Polsek setempat;
b. 2 (dua) kecamatan atau lebih dalam lingkungan kabupaten/kotamadya, pemberitahuan ditujukan kepada
Polres setempat;
c. 2 (dua) kabupaten/kotamadya atau lebih dalam 1 (satu) propinsi, pemberitahuan ditujukan kepada Polda setempat;
d. 2 (dua) propinsi atau lebih, pemberitahuan ditujukan kepada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tempat" dalam Pasal ini adalah tempat peserta berkumpul dan berangkat ke lokasi.
Yang dimaksud dengan "lokasi" dalam Pasal ini adalah tempat penyampaian pendapat di muka umum.
Yang dimaksud dengan "rute" dalam Pasal ini adalah jalan yang dilalui oleh peserta penyampaian pendapat di
muka umum dari tempat berkumpul dan berangkat sampai di lokasi yang dituju dan atau sebaliknya.
Huruf c Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "bentuk" adalah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1).
Huruf e Penanggung jawab adalah orang yang memimpin dan atau menyelenggarakan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang bertanggung jawab agar pelaksanaannya berlangsung dengan
aman, tertib, dan damai.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas Huruf h
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Koordinasi antara Polri dengan penanggung jawab dimaksudkan untuk mempertimbangkan faktor- faktor yang dapat mengganggu terlaksananya penyampaian pendapat di muka umum secara aman, tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan pada malam hari.
Huruf c Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Kewajiban dan tanggung jawab yang dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, b, d, dan e adalah kewajiban dan
tanggung jawab sebagaimana telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan "sanksi hukum" adalah sanksi hukum pidana, sanksi hukum perdata, atau sanksi
administrasi.Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan "melakukan tindak pidana" dalam Pasal ini adalah termasuk perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19 Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3789
Jakarta, 22 Oktober 1998 WAKIL KETUA,
HARI SABARNO, S.IP. MBA. MM

Minggu, 20 Maret 2011

WILKUM SIKKA


 
     Luas wilayah Kab. Sikka adalah 1731.39 Km2 meliputi :
 1).Luas Daratan di Kab. Sikka 1.613.18 Km2.
 2).Luas pulau – pulau yang tersebar    :
-Pulau Pamana Besar: 6.60 Km2.
-Pulau Sukun       : 5.00 Km2.
-Pulau Besar       :53.13 Km2.
-Pulau Parumaan    : 0.35 Km2.
-Pulau Dambila     : 6.25 Km2.
-Pulau Pangebatang : 0.40 Km2.
-Pulau Babi        : 5.63 Km2.
-Pulau Kambing     : 0.00 Km2.
-Lain - Lain       : 0.37 Km2.
 3).Luas Laut         :118.73 Km2.
 letak dan batas wilayah Kab. Sikka diantara 
 Utara pada 8 derajat 22 “ Lintang Selatan Berbatasan dengan Laut Flores.
 Selatan pada 8 derajat 50 “ LintangSelatan. Berbatasan dengan Laut Sabu.
 Timur pada 12 derajat 55.40 “ Bujur Timur. Berbatasan dengan Kab. Flores Timur.
 Barat pada 12 derajat 41.30 “ Bujur Timur. Berbatasan dengan Kab. Ende.
21 Kecamatan 13 Kelurahan dan 147 Desa
Kec. Paga       
Kec. Mego
Kec. Lela
Kec. Bola
Kec. Talibura
Kec. Waigete
Kec. Kewapante
Kec. Maumere
Kec. Palue
Kec. Nita  
Kec. Alok
Kec.Kangae
Kec.Hewokloang
Kec. Koting
Kec. Magepanda
Kec. Tanawawo
Kec. Alok Timur
Kec. Alok Barat
Kec. Doreng
Kec. Mapitara
Kec. Waiblama



KISAH AGEN MOSSAD

Hampir-hampir saja, Eli Cohen menjadi Presiden Suriah, jika skandalnya yang rapi tak terbongkar. Tahun 1965, adalah tahun yang penuh goncangan bagi politik Suriah. Namanya Eli Cohen dan ditulis dalam bahasa Ibrani seperti ini אלי כהן.  Ia adalah Yahudi kelahiran Mesir yang direncanakan oleh Mossad akan disusupkan ke dalam pemerintahan Suriah. Ia dilatih dengan sangat serius di Israel, terutama kemampuan bahasa, sampai ia menguasai bahasa pergaulan sehari-hari warga Arab Suriah.
Setelah menyelesaikan latihannya di Israel, oleh Mossad ia dikirim ke Argentina dengan identitas palsu sebagai seorang Arab Suriah yang bernama Kamel Amin Tsa’bet. Di Argentina ia bergaul dan menjadi akrab dengan komunitas Suriah di negara Amerika Latin tersebut. Bahkan tak satu pun orang bisa mengenalinya, bahwa Kamel Amin Tsa’bet sesungguhnya adalah Eli Cohen, seorang Yahudi yang sedang bekerja untuk dinas intelijen Israel, Mossad.
Hanya dalam waktu yang sangat singkat, ia sudah sangat akrab dengan komunitas Suriah di Argentina. Tak hanya itu, Eli Cohen bahkan sudah mulai berpengaruh dalam komunitas tersebut. Maklum, semua ini memang telah dirancang, dan Mossad tentu saja tidak ingin semua investasi yang telah ditanam dalam diri Cohen sia-sia.
Eli Cohen alias Eliahu Cohen alias Kamel Amin Tsa’bet lahir di Alexandria, Mesir pada 16 Desember 1924. Ayahnya, Shaul Cohen, berimigrasi dari Aleppo, Suriah ke Mesir pada tahun 1914. Eli Cohen sendiri besar dan dewasa di Mesir, bahkan sebelum menjadi mata-mata, namanya sudah tercatat di dinas intelijen Hagganah, sebagai salah seorang yang berperan dalam membantu warga Yahudi keluar dari Mesir.
Ketika di Mesir ia sudah dicurigai, karena melakukan kegiatan mata-mata. Bahkan pada tahun 1952, ia pernah terlibat aktivitas mendukung Zionisme dan ditangkap oleh aparat keamanan Mesir. Ketika di Mesir inilah ia mengerjakan tugas-tugas yang membuat hubungan Mesir dengan dunia Barat memburuk. Beberapa contoh aksi yang ia lakukan adalah membantu operasi intelijen Mossad melakukan sabotase di kedutaan besar Inggris dan Amerika. Pada tahun 1956, Mesir melakukan kampanye anti Yahudi dan memaksa Cohen meninggalkan negeri piramida tersebut. Cohen berhasil keluar menuju Naples lalu masuk ke Israel.
Tugas Cohen setelah Mesir, adalah Argentina. Di negeri ini ia menyamar sebagai seorang pengusaha sukses Suriah. Menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Jenderal Amin al Hafez, yang kelak menjadi Presiden Suriah. Pada tahun 1961, Suriah dilanda kemelut politik yang melahirkan kudeta militer. Cohen pergi dari Argentina dan kembali Israel, kemudian masuk ke Damaskus dan menjadi salah satu anggota partai Baath dan menjadi seorang pejuang Arab yang militan tanpa seorang pun mengetahui bahwa ia sebenarnya adalah seorang Yahudi, agen Mossad. Ia mendapatkan rekomendasi dari pejabat di kedutaan Suriah di Argentina untuk pulang dan memberi manfaat kepada Suriah.
Di dalam partai Baath ia menjadi orang yang sangat berpengaruh. Ia bahkan terlibat dalam muktamar nasional keenam yang dilakukan oleh partai Baath pada 5 Oktober 1963 yang dihadiri tokoh pendiri partai Baath sendiri. Michael Afflaq, sang pendiri partai bahkan berjanji menemui Eliahu Cohen.
Keterlibatannya dalam elit politik di Suriah, membuat Cohen mengumpulkan informasi yang sangat kaya. Sepanjang tahun 1962 sampai 1965, ia menyuplai Israel dengan berbagai informasi, mulai dari foto, sketsa pertahanan, nama-nama dan strategi militer Suriah. Dan data-data yang dikumpulkan oleh Cohen ini sangat berguna bagi Israel pada peristiwa Perang Enam Hari antara negara-negara Arab dan Israel.  
Tapi bukanlah itu yang paling merusak dalam kegiatan Cohen. Kamel Amin Tsa’bet alias Eliahu Cohen telah membuat akhlak dan mental para petinggi di jajaran sipil dan militer Suriah rusak dengan suap dan korupsi, zina dan penyelewengan yang ia fasilitasi. Cohen membawa masuk peralatan komunikasi teknologi tinggi dari Israel, melalui bandara-bandara Suriah dengan cara menyuap pejabat-pejabatan imigrasi di sana. Dan dengan leluasa, peralatan tersebut ia gunakan untuk mentransfer berbagai informasi langsung ke Israel dari rumahnya.
Sampai suatu hari, tetangga depan rumahnya, milik kedutaan India, mengadu pada polisi karena ada gangguan komunikasi dengan sinyal tinggi di wilayah ini. Tapi laporan-laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti, karena selain segan pada posisi
Eli Cohen, polisi setempat juga telah memakan suap yang disiapkan Cohen untuk melancarkan penyamarannya.
Di saat yang bersamaan, aparat intelijen Suriah juga sudah merasa curiga, tapi belum mengetahui harus curiga pada siapa. Kecurigaan ini muncul karena beberapa kejadian yang seharusnya informasinya sangat confidential, ternyata sudah diketahui oleh pihak luar. Sampai suatu hari, Suriah bekerjasama dengan Rusia dalam peralatan militer dan pertahanan. Salah satunya adalah alat pelacak sinyal komunikasi tingkat tinggi dan radar, yang diketahui secara akurat dan tepat.
Pada hari yang telah ditentukan, tanpa sepengtahuan Eli Cohen, aparat keamanan Suriah mematikan seluruh fasilitas penyiaran, baik radio ataupun televisi selama 24 jam. Tanpa sinyal penyiaran yang memang cukup besar, maka sinyal-sinyal komunikasi lain akan teridentifikasi. Salah satunya, sinyal yang paling kuat berasal dari rumah Eliahu Cohen. Radar bikinan Rusia ini berhasil menangkap sinyal yang kuat dari rumah Cohen, dan tentu saja ini mengundang kecurigaan. Regu khusus telah disiapkan untuk mendobrak masuk dan menangkap Cohen yang sedang mengirimkan data-data yang berhasil ia kumpulkan untuk Israel.
Berita penangkapan Cohen baru muncul dan ramai menjadi perhatian media, beberapa bulan kemudian, saat sebuah radio, Sout al Arab menyiarkan berita yang menghebohkan ini kepada dunia Arab. Cohen sendiri harus menjalani penahanan dan penyiksaan saat interograsi. Sebelum berita ini muncul, sebenarnya aparat intelijen Mesir sudah mencurigai saat Cohen terlihat di perbatasan Suriah dan Israel bersama pejabat-pejabat Suriah. Sebagai ganjaran, Cohen pada 18 Mei 1965, disaksikan lebih dari 10.000 rakyat Suriah Eliahu Cohen digantung di tengah lapangan. Andai saja penyamaran Cohen tak terungkap, ia hampir dapat dipastikan akan menjadi Presiden Suriah.
Cohen yang digantung, dianggap sebagai pahlawan oleh rakyat Israel. Hingga saat ini mereka masih memperjuangkan agar tulang belulang Cohen bisa dipindahkan dari Suriah ke Israel. Tapi sampai hari ini juga pemerintahan Suriah tidak mengizinkannya.
Kerusakan yang dihasilkan oleh operasi Cohen ini sungguh luar biasa. Bukan saja pada ranah politik dan pertahanan, keamanan dan rahasia negara, tapi lebih jauh dari itu, Cohen telah berhasil menanamkan jiwa-jiwa korup dalam tubuh birokrasi dan militer di Suriah. Dan ini adalah kerusakaan yang bersifat laten, lebih bahaya dari sekadar serangan militer.
Kondisi yang sama, sedang melanda Indonesia. Korupsi dan penyelewengan kekuasaan, menjadi air bah yang besar dalam pusat politik Indonesia. Apakah ada tangan-tangan misterius yang bermain di belakang peristiwa-peristiwa korupsi?
Dr Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan pada kabinet periode lalu, tahu benar apa jawaban dari pertanyaan ini. “Indonesia dihancurkan melalui sistem. Seharusnya sistem berpihak pada rakyat, tapi malah menyengsarakan dan menghancurkan pondasi negara. Semuanya sudah masuk dalam sektor kehidupan, entah itu masuk ke wilayah ekonomi, perdagangan, pendidikan, atau kesehatan. Dalam segi kesehatan saya sudah bersusah payah ternyata diubah semuanya melalui sistem neoliberalisme. Konspirasi dari sistem kenegaraan sudah terjadi lama sekali,” tandas Siti Fadilah Supari yang ditemui di sela-sela Kongres Kajian Zionisme Internasional, akhir Desember silam.
Bagi Siti Fadilah, hasil dari neoliberalisasi adalah kehancuran bagi yang lemah dan kemenangan bagi yang kuat. Awal 2010 Indonesia masuk wilayah FTA (free trade area). “Banyak pejabat atau pembesar negara menandatangani kebijakan yang menguntungkan pihak asing, hampir 90% dari kekayaan alam sudah bukan milik kita, 90% bank yang ada bukan milik kita. Semuanya sudah dimiliki pihak asing tanpa meninggalkan kepada anak bangsa. Sistem yang berjalan merupakan gurita yang menghancurkan Indonesia,” terangnya lagi.

The invisible hand, itu pula yang diyakini oleh Joserizal Jurnalis, Presidium Mer-C yang belakangan justru menguat perannya sebagai pemerhati masalah konspirasi. “Invisible hand merupakan kekuatan yang tidak terlihat mencoba untuk mengatur negara di bidang ekonomi, politik intelijen atau yang lainnya. Jika suatu negara kuat dalam sisi militer, tangan misterius ini masuk ke dalam isu HAM. Jika suatu negara kuat dalam dalam sisi ekonomi, dia masuk dalam isu kapitalis (pasar bebas). Dan jika dalam suatu negara maju dalam sisi teknologi, maka mereka masuk dalam isu dampak senjata nuklir,” jelas Joserizal.
Secara terang Joserizal meyakini bahwa kekuatan misterius yang sedang bekerja merusak Indonesia ini adalah Zionis dan kakitangannya. “Invisible hand biasanya banyak berasal dari tangan Zionis, walau banyak pula dari tangan lokal. Tapi pada hakikatnya, kepentingan lokal juga digerakkan oleh Zionisme global, sampai pada kebijakan keuangan terintegrasi oleh kebijakan Zionisme,” tandasnya yakin.
Joserizal percaya, salah satu program kerja the invisible hand di Indonesia adalah melakukan rekayasa degradasi moral. “Beberapa contohnya adalah memasukan narkoba ke sendi-sendi umat Islam, mental korupsi, perzinahan, penyebaran penyakit. Sehingga mengakibatkan pejabat Muslim tidak memiliki intergritas terhadap apapun, kecuali jebakan yang sengaja dibuat serta politik adu domba antar umat Islam sendiri sebagaimana yang terjadi di negara Pakistan,” tuturnya.
Tapi faktor rekayasa dan konspirasi terhadap runtuhnya moral bangsa lewat kasus korupsi dan degradasi akhlak, bagi Fathudin Ja’far, Direktur Spiritual Learning Center, kecil kemungkinannya. “Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ini lebih karena mental yang lemah dan tidak teguh berpegang pada agama,” ujarnya pada Sabili.
Meski memiliki perspektif yang berbeda tentang asal muasal degradasi moral, Fathudin juga meyakini, jalan keluarnya hanya satu, ajaran Islam. Membangun prinsip agama yang kuat. Semakin jauh seorang Muslim dari nilai-nilai fundamental Islam, maka semakin lemah dia secara mental, kekuasaan dan juga moral.

Habib Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam, memiliki konsep menarik mengatasi masalah sekaligus memberikan injeksi imunisasi bagi umat Islam Indonesia. Harus ada usaha untuk menggabungkan semua lini perjuangan umat Islam, baik dakwah, hizbah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad. “Dakwah harus lembut, hizbah harus tegas, jihad harus keras,” tukas sang habib pada Sabili.
Tapi kekhawatirannya adalah, usaha adu domba antar umat Islam yang melakukan unsur-unsur dakwah di atas, semakin kuat di Indonesia. “The invisible hand memang sangat ingin melihat kita terpecah belah. Sebab keterpisahan akan melahirkan kehancuran. Mereka akan berusaha memisahkan dakwah dengan hizbah dan juga jihad,” terang Habib Rizieq yang telah mengalami sendiri pahitnya fitnah yang merusak ukhuwah umat Islam.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Tidak ada cara yang sederhana. “Kita harus bekerja bahkan sejak dini, menjaga akidah anak-anak kita yang kelak akan meneruskan perjuangan kita. Sementara dakwah jalan terus dan jangan kendor. Cikal bakal pemimpin esok hari, kini masih berusia anak-anak. Jika umat Islam ingin masa depannya selamat, maka hari ini kita harus menyelamatkan anak-anak kita,” kata Habib Rizieq.
Memang, tak ada cara sederhana untuk memperbaiki keadaan yang demikian parah. Salah satu harapan yang masih tersisa adalah menyelamatkan anak-anak kaum Muslimin dari ancaman akidah. Anak hari ini, adalah pemimpin esok hari. Bangsa akan hilang jika anak-anak yang menjadi masa depannya lemah dan rendah. Para mujahid dan mujahidah, harus lahir dan besar dari rahim-rahim kaum Muslimin. Sebab, perjuangan tidak semakin mudah. Sebaliknya, perjuangan akan kita berat dan payah. Semoga Allah menolong kita dari tangan-tangan orang yang zalim. ditulis oleh Herry Nurdi - CIBIRSABILI.COM

Selasa, 15 Maret 2011

Sebuah Catatan

"berani tidak dikenal, mati tidak dicari, berhasil tidak dipuji, dan gagal dicaci maki"

Hanya sebuah catatan pinggir yang mungkin dapat mengingatkan jati diri seorang insan intelijen.

Terhadap prinsip sebagaimana tertera pada judul artikel ini, saya berkali-kali memberikan catatan yang agak berbeda sedikit, namun juga ada hal-hal yang tidak dapat ditawar sebagai prinsip yang harus dipahami seorang intel.

Silahkan dibaca....

"berani tidak dikenal" adalah salah satu prinsip dasar yang tidak dapat dibantah lagi dalam profesi seorang intel. Apabila kita bertemu/berkenalan dengan seseorang dan yang bersangkutan mengenalkan diri sebagai seorang intel, maka ia telah melanggar prinsip kerjanya sendiri. Penngecualian dapat saja terjadi ketika kita berada di dalam pertemuan komunitas intelijen, ataupun dalam rapat di lembaga pemerintah dimana kita mewakili institusi intelijen, atau bahkan dalam pertemuan internasional dimana pesertanya adalah kalangan intel. Penyakit ingin dikenal biasanya terjadi justru pada tahap awal menjadi seorang intel atau pada saat telah menduduki jabatan yang cukup tinggi. Ibaratnya seperti juga seorang yang baru belajar bela diri silat sabuk putih dengan sedikit kembangan, jurus, belebat dan tapak, kadang kebanggaan menjadi bagian dari perguruan silat melebihi kemampuannya dalam bela diri. Semantara, harga diri seorang pejabat intel, kadang meledak pada saat ada pihak-pihak meremehkannya, sehingga munculah perilaku ingin dikenal.

"mati tidak dicari" sebenarnya merupakan prinsip government denial atau penyangkalan pemerintah terhadap keberadaan seorang intel/agen yang hilang atau mati dalam sebuah operasi di negara lawan. Hal ini sangat penting guna meredam terjadinya konflik yang lebih besar antar negara, sehingga seorang agen yang ditugaskan di luar negeri secara mental selalu siap untuk dianggap tidak ada, dimana kematiannya-pun tidak akan dicari. Prinsip ini hampir tidak pernah diterapkan dalam operasi di dalam negeri, kecuali pada saat terjadi perang saudara atau pemberontakan yang besar.

"berhasil tidak dipuji" adalah sebuah prinsip yang dibangun untuk memupuk/membangun jiwa rendah hati seorang intel. Mengapa seorang intel perlu memeiliki kerendahan hati? Hal ini semata-mata demi kelangsungan hidupnya untuk membiasakan diri tidak mencari pujian atau berkompetisi semata-mata demi nama atau jabatan. Secara psikologis, manusia akan selalu senang dipuji atas keberhasilan/sukses dalam kehidupannya. Intel juga manusia yang haus akan pujian, namun pujian dalam dunia intelijen perlu direduksi guna menghindari lahirnya kesombongan/takabur yang sering menjerumuskan seorang intel dalam keadaan yang menyedihkan karena kesombongannya.

"gagal dicaci maki" adalah sebuah prinsip dimana tidak ada kata gagal dalam kamus pekerjaan seorang intel, sehingga hanya caci-maki yang akan diterima seorang intel yang gagal. Mengapa intel tidak boleh gagal? bukankah manusia wajar saja apabila gagal? Dalam kondisi ekstrim, hal ini berangkat dari prinsip keadaan perang dimana kegagalan seorang intel dapat mengakibatkan kematian atau kekalahan dalam perang sehingga tidak dapat diampuni. Apakah kita dapat hidup tenang apabila kegagalan kita menyebabkan kematian banyak sahabat dan rekan kerja kita. Kemudian prinsip tersebut diabadikan dalam dunia intelijen untuk mendorong seorang intel memaksimalkan skill, kemampuan, dan kreatiftasnya dalam menyukseskan pekerjaan operasionalnya. Saya berikan contoh sederhana yang secara filosofis dapat menjelaskan kondisi ini sbb:

Tugas yang diberikan oleh pimpinan secara mendadak adalah menghadiri pertemuan rahasia di Hotel Indonesia jam 3 dinihari tanggal XX bulan YY tahun 2010. Posisi anda pada jam 2 dinihari di Depok tanpa memiliki kendaraan bermotor. Beberapa kawasan menuju Hotel Indonesia banjir. Dapat dipastikan anda akan terlambat atau bahkan tidak dapat menghadiri pertemuan dimaksud. Apakah anda bisa melapor pada pimpinan dan menyampaikan maaf Pak saya gagal mencapai Hotel Indonesia jam 3 dinihari, sehingga tidak tahu isi pertemuan rahasia dimaksud. Silahkan dipikirkan masing-masing.

Semoga bermanfaat.

SEJARAH INTELKAM POLRI

SEJARAH INTELKAM POLRI
 Intelijen Dalam Kilasan Sejarah

”Intelejen ada seumur dengan keberadaan manusia”. Idiom ini menjadi satu pembenaran bagi banyak lembaga intelijen untuk menegaskan keberadaannya. Intelijen tidak saja hanya dibutuhkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam sebuah negara yang berdaulat untuk kepentingan pertahanan dan keamanannya. Namun lebih dari itu banyak perusahaan –perusahan maupun badan hukum yang berorientasi provit menggunakan  fungsi intelijen baik secara langsung maupun tidak langsung dan walaupun tidak selalu berbentuk sebuah organisasi atau wadah khusus yang membidangi masalah intelijen untuk menganalisa prospek pasar.
Pada masa kerajaan nusantara ada, penggunaan fungsi intelijen dikenal dengan nama Telik Sandi, yang tugasnya menjadi mata-mata kerajaan untuk mengawasi kerajaan lainnya. Sehingga gerak gerik kerajaan yang menjadi objek pengintaian telik sandi tersebut dapat diawasi. Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah Kolonial memanfaatkan fungsi intelijen karena melihat bahwa potensi ancaman dari gerakan politik makin besar pasca pendirian Budi Utomo, maka fungsi intelijen dimasukkan ke dalam Dinas Reserse Umum, yang juga baru dibentuk tahun 1920-an, terpisah dari Dinas Polisi Umum sebagai induknya. Menariknya, pembentukan Dinas Reserse Umum tersebut sangat sarat dengan kegiatan memata-matai kegiatan politik, dari pada kegiatan kriminal lainnya. Tak heran, karena pasca pembentukan Budi Utomo, lahir kemudian organisasi pergerakan bumi putera yang lebih terorganisir dan modern, serta lebih radikal. Tercatat beberapa organisasi yang lebih terorganisir dan radikal Sarekat Islam (SI), PKI, PNI, PNI Pendidikan, dan lain-lain. Bahkan proses penanganannya langsung dipegang oleh para pejabat dan pelaksana di dinas tersebut, hal ini menandakan bahwa pergerakan nasional anak negeri menjadi salah satu target dari kerja dan fungsi intelijen ketika itu. 
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, peran dan fungsi keintelijenan berubah. Menariknya, Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia membangun fungsi keintelijenan tidak menyatu dengan Pemerintahan Militer. Pemerintahan Penjajahan Jepang mengembangkan fungsi kepolisian, yang berorientasi pada pembangunan keamanan dalam negeri (Kamdagri) yang lebih menitikberatkan pada kegiatan preventif. Hanya saja dalam pelaksanaannya pendekatan militeristik justru lebih mengemuka dari pada pendekatan khas kepolisian. Hal ini terlihat dari upaya yang sangat keras dalam pemberantasan kegiatan politik, serta anasir-anasir lainnya yang menentang pemerintahan dan kebijakannya.
Pendekatan kekerasan menjadi citra Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial) , yang mengemban fungsi keintelijenan dalam struktur Pemerintahan Pendudukan Jepang. Upaya pengungkapan dan pemeriksaan di arahkan selalu pada pertanyaan upaya pergerakan politik melawan Jepang. Salah satu tokoh pergerakan nasional yang ditahan Kempetai dan Tokko-koto adalah Amir Sjarifuddin, mantan perdana menteri kedua setelah Sjahrir, dan tokoh dibalik pemberontakan PKI Madiun 1948 bersama Muso.
Satu hal yang menarik dari Kempetai dan Tokko-koto ini adalah pengembangan manajemen krisis dan perencanaan darurat (contengency plan) bagi internal kedua lembaga tersebut. Bentuk manajemen krisis dan perencanaan darurat dalam bentuk pembelajaran tekhnik keintelijenan juga menjadi satu bagian yang wajib diikuti oleh semua pegawai dan anggotanya. Pegawai dan perwira diberikan pelatihan khusus tentang taktik dan strategi provokasi, infiltrasi, sabotase, dan taktik perang bawah tanah. Karena turunan dari pelatihan tersebut, adalah semua pegawai di dua lembaga tersebut wajib menyebarkan propaganda dan mendorong agar penduduk pada masa penjahan Jepang harus ikut memberantas semua aktivitas yang merugikan Pemerintahan Pendudukan Jepang.
Salah satu yang mendapatkan pelatihan tersebut adalah Zulkifli Lubis, dan R. Moch. Oemargatab, keduanya merupakan pencetus dan pemimpin pertama lembaga intelejen negara, yang ketika itu bernama Badan Istimewa, sebagai cikal bakal Badan Intelejen Negara (BIN) dan Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), sebagai organisasi keintelijenan polisi pertama, yang sekarang dikenal dengan Intelkam Polri. Sementara lembaga intelijen di Kepolisian juga didirikan, pasca terbentuknya Djawatan Kepolisian Negara (DKN) pada 19 Agustus 1945, yang ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Penetapan RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN), yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Lahirnya Maklumat X tanggal 3 November 1945 yang membebaskan masyarakat untuk membentuk organisasi dan partai politik, menjadi titik awal intelejen Kepolisian berdiri.
Lonjakan aspirasi dan kepentingan masyarakat diasumsikan akan membangun situasi yang tidak kondusif bagi penegakan keamanan dalam negeri, yang menjadi tugas dari DKN. Apalagi di saat yang sama lembaga dan departemen, serta kantor kementerian juga membentuk berbagai pasukan perjuangan yang melakukan penyelidikan, dan melakukan fungsi intelijen. Hal ini sangat mengganggu pola pengamanan dan menjalankan fungsi intelijen yabg lebih sistematis dan terukur. Sehingga pada awal tahun 1946, dibentuklah kekuatan intelijen yang mampu mengatasi gangguan keamanan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat. Fungsi intelejen Kepolisian ini diberi nama Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM), pimpinan R. Moch. Oemargatab.
Tugas pokok dari PAM ini memang lebih spesifik pada pengawasan aktivitas masyarakat dibandingkan Badan Istimewa (BI) pimpinan Zulkifli Lubis yang lebih mengarah kepada dinamika politik dan pengembangan kontra intelijen terhadap Belanda dan Sekutunya.Seiring dengan perjalanan waktu, DKN kemudian dikeluarkan dari lingkungan Departemen Dalam Negeri, dengan diterbitkannya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, 1 Juli 1946 dan langsung di bawah Perdana Menteri. Perubahan ini juga berimplikasi pada keberadaan PAM, sebagai satuan intelijen di Kepolisian, yang mengalami pemekaran tugas pokok dari yang sangat umum menjadi lebih khusus.
Pada PAM sebelum terbitnya Penetapan Pemerintah No. 11/S.D tahun 1946, tugas pokoknya sebagai berikut:”Mengawasi semua aliran dan memusatkan segala minatnya kepada hajat-hajat dan tujuan-tujuan dari seseorang atau golongan penduduk yang ada atau timbul di daerah Republik Indonesia atau yang datang dari luar, yang dianggap dapat membahayakan kesentausaan Negara Indonesia dan sebaliknya membantu hajat dan cita-cita seseorang atau golongan penduduk yang bermaksud menyentausakan negara dan keamanan Republik Indonesia serta tugas riset dan analisis lainnya” Sedangkan tugas pokok PAM setelah terbitnya penetapan pemerintah, justru makin memperluas cakupan tugas pokok, dengan terbitnya Surat Kepala Kepolisian Negara (KKN) No: Pol. 68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, yang isinya sebagai berikut : a. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan lain-lainnya.
b. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain sebagainya.
c. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari segala lapisanmasyarakat/rakyat).
d. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusasteraan.
e. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karenakurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan minuman keras, pemilihan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari politik polisionil tekhnis.
f. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya susunan ekonomi.
g. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di Indonesia.
h. Mengawasi gerak gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang menentang/membahayakan pemerintah.
Dan bila disimpulkan dari uraian tersebut, maka tugas bagian PAM adalah: Menjalankan kontra intelijen dan kontra spionase demi keamanan nasional serta melaksanakan riset dan analisis untuk kepentingan pimpinan c.q. Perdana Menteri dalam menentukan kebijakan politik polisional.Otoritas Negara
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda, dan bubarnya Republik Indonesia Serikat, lembaga intelijen sudah mulai mampu melakukan akselerasi pada tugas pokok yang diembannya. Hal ini terkait dengan berbagai manuver dari elit politik yang memandang lembaga intelijen sebagai lembaga strategis bagi kekuasaan politiknya. Pada lembaga intelijen Kepolisian ada perubahan yang signifikan pada diubahnya nama Bagian PAM menjadi Bagian Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Perubahan ini berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol: 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1951, agar DPKN juga melakukan penjagaan terhadap keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, serta pejabat tinggi negara.
Di samping itu juga melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan asing.Sementara itu, seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, DPKN sebagai intelijen Kepolisian juga melakukan metamorfosis dengan nama Korps Polisi Dinas Security (Korpolsec). Pergantian nama ini lebih banyak terkondisikan karena tantangan dan ancaman yang lebih konpleks, disertai ledakan jumlah penduduk yang membuat rasio polisi dan penduduk makin tidak ideal. Korpolsec dilandasi dengan terbitnya Order Menteri/Kepala Kepolisian Negara No: 37/4/1960, tertanggal 24 Juni 1960, dengan rincian pokok kerja sebagai berikut : a.  Mengatur pelaksanaan Security Intelijen.
b. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahan-bahan informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional.
c. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat termasuk dalam point b di atas. Yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah KepolisianKomisariat.
d. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan perwakilan kenegaraan dalam kerja sama dengan instansi-instansi yang bersangkutan, yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat.
Seiring dengan proses perbaikan yang terjadi di internal intelijen Kepolisian, pucuk pimpinan beralih dari R. Oemargatab ke M. Soekardjo. Pergantian ini juga bernuansa sangat politis. Pergantian tersebut sejalan dengan pergantian Kepala Kepolisian Nasional, dari RS. Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Soekarno Djojoegoro, yang merupakan pilihan Soekarno. Soekanto diganti karena menolak gagasan Presiden Soekarno untuk mengintegrasikan Kepolisian Nasional dengan Angkatan Perang.
Langkah ini juga mengganggu tingkat konsolidasi di lembaga intelijen Kepolisian. Soekarno Djojoegoro cenderung sangat politis dalam melihat hal yang ada di Kepolisian. Tak heran karena sosok Ketua Polisi Nasional kedua tersebut dekat dengan Presiden Soekarno. Langkah yang dilakukannya adalah memasukkan Soetarto menjabat ketua Intelejenan Kepolisian menggantikan M. Soekardjo, yang baru seumur jagung menggantikan Oemargatab.
Namun demikian, permasalahan yang muncul sebagai akibat dari konflik internal terus mengemuka. Pergantian Soekarno Djojoegoro dari Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) dan Soetarto dari jabatan Kepala Intelijen Kepolisian tidak menyelesaikan masalah. Hal ini terkait keputusan kontroversial dari pemerintah yang menunjuk Soetjipto Danukusumo menjadi pengganti Soekarno Djojoegoro. Sebagaimana diketahui bahwa kepangkatan Soetjipto baru AKBP (setingkat Letnan Kolonel), namun kemudian dinaikkan dengan cepat menjadi Inspektur Jenderal.
Naiknya Soetjipto menjadi Pangak menambah riak-riak baru bagi konflik di internal Polri. Selain karena alasan kenaikan pangkat kilat, juga disebabkan karena proses naiknya Soetjipto menjadi Pangak sangat sarat bernuansa politik.Akan tetapi secara kasat mata, proses tersebut juga memiliki implikasi bagi pembenahan internal Kepolisian, meski tidak lama menjabat, Soetjipto telah membersihkan unsur politik dari Korpolsec, dengan memindahkan Soetarto ke BPI, dan menjadi orang kedua setelah Soebandrio. Kepindahan Soetarto ke BPI memberikan angin segar bagi perbaikan kinerja Korpolsec, yang kemudian berganti lagi menjadi Korps Intelejen dan Security, dan kemudian berubah lagi menjadi Direktorat Intelijen dan Security hingga berakhirnya kekuasaan Orde Lama.
Pasca Soetarto memimpin lembaga tersebut, sesungguhnya lembaga intelijen Kepolisian mulai dipimpin oleh perwira didikan PAM, sebut saja Soemartono, Poerwata, dan Soetomo. Tiga orang ini berturut-turut saling menggantikan hingga kejatuhan Presiden Soekarno dan Orde Lama-nya dari tapuk pemerintahan. Satu produk perundang-undangan terakhir di masa Presiden Soekarno, untuk menegaskan tugas pokok Direktorat Intelijen dan Security Departemen Angkatan Kepolisian adalah terbitnya Surat Keputusan No. Pol: 11/SK/MK/1964, tanggal 14 Feberuari 1964, yang berisi sebagai berikut :
1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan bathin untuk menuju masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan kerangka Tujuan Revolusi Nasional.
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara positif dan aktif di bidang intelijen dan security.
Harus diakui bahwa konflik internal di Kepolisian sangat mempengaruhi eksistensi dan kinerja dari lembaga intelijen tersebut. Bahkan dapat dikatakan konflik yang terjadi di internal Kepolisian mampu membangun kesadaran bagi para perwira Kepolisian untuk lebih mengedepankan tugas dan tanggung jawab terhadap negara dari pada perebutan jabatan dan posisi yang memberi cela bagi banyak pihak untuk melakukan penyusupan di tubuh Polri. Di sinilah sesungguhnya peran intelijen harus diperkuat untuk menolak segala bentuk campur tangan dan penyusupan, dengan kontra intelijen.
Permasalahannya, dalam kasus ini intelijen Kepolisian menjadi bagian dari konflik, sebab ada satu wacana yang berkembang ketika itu untuk mengendalikan Kepolisian, salah satunya dengan menumpulkan peran intelijennya. Dan langkah tersebut terbilang sukses. Indikator yang paling mudah adalah pasca Dekrit Presiden 1959 hingga pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto, bisa dikatakan peran intelijen Kepolisian terbilang minim. Ketika Soekarno dan Orde Lama turun tahta, dan digantikan oleh Soeharto, dan instrumen Orde Baru-nya, maka dimulai satu fase ’Kegelapan’ bagi dunia intelijen di Indonesia, khususnya intelijen Kepolisian.
Seperti dapat diduga, Soeharto melakukan konsolidasi politik ke semua lini kekuasaan agar patuh dan loyal kepadanya. Gagasan Soekarno untuk menempatkan Polri agar masuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dterapkan Soeharto guna mengikat Polri agar terbebas dari anasir-anasir PKI dan faksi anti pemerintah.Intelijen Kepolisian yang menjadi bagian dari KIN, serta anggota terbaru dari ABRI, yang meleburkan Kepolisian menjadi satu angkatan bersama tiga matra lainnya, makin sulit memposisikan diri.Intelijen Kepolisian, yang di masa pemerintahan Soekarno memainkan peran yang cukup signifikan, dan diberi berbagai peluang dan mengembangkan diri, pada masa Soeharto justru hanya menjadi sub ordinasi dari pemenuhan informasi dan data dari lembaga-lembaga bentukan Soeharto tersebut.
Hampir tidak ada satu agregasi kinerja intelijen Polri yang benar-benar mandiri dan mencitrakan satu profesionalisme sebagaimana yang menjadi tugas dan fungsinya. Hampir semua tugas dan fungsi intelijen Polri diambil alih dan dikerjakan oleh lembaga-lembaga tersebut. Intelijen Polri kemudian mengubah namanya seiring dengan reformasi kelembagaan yang harus dijalani Polri. Dengan menyandang nama Badan Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) Polri. Titik tekannya pada intelijen keamanan, yang tertuang pada Keputusan Presiden (Perpres) No. 70 tahun 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian Negara RI Pasal 21, yang berbunyi : a. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.
b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri).
Baintelkam Polri harus menyadari bahwa tugas dan wewenangnya hanya terbatas pada intelijen keamanan, yang lebih khusus pada intelijen kriminal, sebagaimana yang tertuang dalam Kepres No. 70 Tahun 2002.